Istilah “Sisa Hutang DBHP” = Tafsir Menyesatkan, Pola Impunitas Struktural. KMP : Segera lapor KPK.

SNN, Purwakarta Jabar,  Ketua Komunitas Madani Purwakarta (KMP)  Ir. Zaenal Abidin, MP menyoroti ‎Istilah “sisa hutang DBHP” yang baru-baru ini digunakan dalam pemberitaan publik, menurut kang ZA kalimat tersebut merupakan tafsir menyesatkan, bahkan berpotensi menjadi bentuk pola impunitas struktural. Dana Bagi Hasil Pajak (DBHP) periode 2016–2018 sebesar Rp71,7 Miliar bukanlah hutang daerah, melainkan wajib transfer dari Pemkab ke desa yang dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan.

Menurut ia,  DBHP adalah Hak Konstitusional Desa yang sudah diatur dalam Konstitusi UUD 1945, UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, serta UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, secara tegas menyebut bahwa DBHP merupakan hak masyarakat desa. Dana tersebut harus disalurkan tepat waktu dan tepat jumlah, bukan bersifat diskresioner atau hibah yang bisa ditunda sesuka hati kepala daerah.

‎”Klaim Pemkab bahwa DBHP 2016-2018 yang tidak disalurkan dianggap sebagai “hutang” adalah tafsir yang keliru. DBHP bukan utang daerah yang bisa dicicil kapan saja, melainkan hak masyarakat desa yang wajib disalurkan pada tahun anggaran berjalan” ujarnya.

Murutnya itu merupakan Tindakan Melawan Hukum & Sarat Potensi Korupsi
“Tidak disalurkannya DBHP 2016–2018 jelas merupakan bentuk Penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) oleh kepala daerah selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah (Pasal 3 UU Tipikor).” lanjutnya

“Perbuatan melawan hukum dalam pengelolaan APBD (Pasal 2 UU Tipikor).
<span;>‎Sarat potensi korupsi, apabila dana tersebut dialihkan, diputar, atau dipakai untuk belanja lain di luar hak desa” tegasnya.

Kang ZA pun membahas kembali hasil dari surat yang di layangkan KMP beberapa waktu yang lalu, dimana Pertanyaan krusial yang ia sampaikan hingga kini belum dijawab secara transparan adalah
“Ke mana mengalir DBHP Rp71,7 Miliar tahun 2016–2018?” tegasnya.

Menurut ia Pernyataan resmi maupun pemberitaan yang menyebut bahwa “sisa hutang DBHP akan dilunasi tahun 2025” justru mengindikasikan adanya gejala impunitas struktural. Bahasa “hutang” dipakai untuk menutupi pelanggaran hukum yang seharusnya ditindak sebagai dugaan tindak pidana korupsi.

‎”Jika dibiarkan, hal ini akan memperkuat budaya pembiaran sistemik dan mematikan hak masyarakat desa atas dana pembangunan yang sah secara hukum masyarakat menuntut Transferan dan Akuntabilitas” ujar kang ZA.

Kasus tidak disalurkannya DBHP sebesar Rp71,7 Miliar ini harus dipertanggungjawabkan secara hukum oleh Bupati Purwakarta periode 2016–2018. Klaim pembayaran “tunggakan” di tahun 2025 tidak menghapus kewajiban hukum maupun dugaan tindak pidana yang telah terjadi.

Komunitas Madani Purwakarta (KMP) dalam kasus ini menuntut beberapa point diantaranya.
1. Audit investigatif  untuk mengungkap aliran DBHP 2016–2018.
2.. Penegakan hukum  untuk memastikan tidak ada impunitas.
3. Transparansi Pemkab Purwakarta agar publik tahu siapa yang bertanggung jawab atas hilangnya hak desa selama tiga tahun anggaran.

Zaenal, Ketua KMP menegaskan bahwa istilah “sisa hutang DBHP” bukan sekadar kesalahan bahasa, patut diduga upaya sistematis menutupi jejak pelanggaran hukum. DBHP adalah hak mutlak desa yang dijamin konstitusi, bukan piutang yang bisa dicicil seenaknya.

Karena itu, KMP menyerukan bahwa penegakan hukum yang tegas adalah jalan satu-satunya untuk mengembalikan marwah konstitusi, hak desa, dan keadilan publik.

‎Adili Pelaku !!! Seru Kang ZA, Ketua KMP (**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

© Hak Cipta Dilindungi