Kebakaran Jenggot di Senayan: Tuduhan Judi Bikin Politisi Loncat Lebih Cepat

SNN, Jakarta – Belum selesai rakyat mencerna harga sembako yang naik turun seperti sinyal internet di pelosok, kini publik dihidangkan tontonan seru: drama baru bertajuk “Dasco dan Dugaan Kasino yang Tidak Disebut Tapi Disebut”.

Majalah Tempo terbit 7 April 2025 menyulut api dengan hanya satu kalimat: “Nama Sufmi Dasco Ahmad ikut mencuat.” Kalimat sederhana, tapi efeknya seperti menyiram bensin ke unggun ego politisi. Reaksinya? Cepat, emosional, dan penuh semangat seperti pembelaan saat jatah reses terancam.

Tidak butuh waktu lama, Habiburokhman—politisi yang dulu dikenal getol membela kebebasan pers—mendadak berubah menjadi jaksa agung pribadi untuk membela sahabat separtainya. Dalam sebuah tulisan panjang yang mengalir deras seperti air bah di musim hujan, ia menyebut Tempo melakukan “fitnah dan insinuasi tingkat tinggi”.

“Saya ini dulu korban pembredelan,” katanya, seraya mengangkat bendera nostalgia. Namun anehnya, kini ia justru ingin membredel narasi yang mengganggu kenyamanan kolega politiknya.

Tempo tidak secara eksplisit menuduh Dasco bermain judi. Mereka hanya bilang “namanya mencuat” dalam laporan tentang kasino darat dan online di Kamboja. Seperti menyajikan semangkuk bubur panas ke publik, lalu bilang, “Kami tidak bilang itu milik siapa-siapa, tapi ada rasa-rasa familiar.”

Habiburokhman, tentu saja, tak tinggal diam. Ia membedah kalimat Tempo seperti seorang ahli forensik bahasa. “Lihat cover-nya! Lihat halamannya! Tidak ada bukti, tapi ada insinuasi!” teriaknya, meski belum tentu rakyat membaca sampai halaman 60.

Lucunya, isu ini menjadi sensitif bukan karena rakyat percaya atau tidak, tapi karena mendadak para politisi menjadi sangat rajin membela nama baik—sesuatu yang jarang terdengar saat DPR dicap sebagai lembaga paling korup se-Indonesia. Ketika ada indeks korupsi yang menyebut DPR terburuk, tidak ada yang membuat opini balasan. Tapi saat disebut “ikut mencuat” dalam dugaan judi, langsung muncul esai sepanjang skripsi.

“Mungkin karena kalau soal korupsi udah kebal, tapi judi belum,” ujar seorang pengamat politik warung kopi.

Narasi ini terlalu absurd untuk disebut konspirasi. Ini lebih mirip komedi situasi: nama disebut setengah, respons politikus satu paket. Belum ada bukti, tapi sudah ada pembelaan. Seperti orang disindir di status Facebook dan beberapa media online, lalu langsung tersinggung padahal belum tentu dituju.

Dan tentu saja, semua dibungkus atas nama ‘cinta demokrasi’ dan ‘kehormatan lembaga’. Padahal yang sedang dijaga bukan lembaganya, tapi gengsinya.

Di tengah drama elite, rakyat masih punya akal. “Kalau nggak terlibat, ngapain marah? Kecuali yang disebut memang pas di hati,” kata Ibu-ibu penjual nasi uduk yang heran kenapa DPR jarang secepat ini bereaksi soal bansos atau harga beras.

Pernyataan politisi Partai Gerindra, Habiburrohman, yang membela rekan separtainya, Sufmi Dasco Ahmad, dari berbagai kritik publik mendapat tanggapan keras dari Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA., sekaligus Alumni Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 48 Lemhannas RI tahun 2012, Kamis (10/4/2025).

Dalam sebuah pernyataan yang beredar, Habiburrohman menyebut kritik terhadap Dasco sebagai bentuk fitnah dan tidak berdasar. Ia bahkan menegaskan bahwa loyalitas terhadap partai dan pimpinan harus dijaga, terutama menjelang dinamika politik nasional yang memanas.

Namun, Wilson Lalengke menilai pernyataan Habiburrohman justru menjadi potret nyata matinya nalar kritis di tengah kultur politik yang sarat pencitraan. Dalam sebuah wawancara terbuka, Wilson menyebut pembungkaman kritik adalah bentuk kemunduran demokrasi.

“Loyalitas itu tidak berarti membabi buta. Kritik terhadap pejabat publik, termasuk Dasco, adalah bagian dari kontrol sosial yang sah dan dilindungi konstitusi,” tegas Wilson.

Menurut Wilson, sikap elit politik yang langsung defensif ketika tokohnya dikritik, justru menyingkap ketakutan akan terbongkarnya realitas yang tak ingin diketahui publik. Ia menilai bahwa rakyat berhak mempertanyakan rekam jejak, integritas, serta keputusan yang diambil para pemimpin, apalagi jika menyangkut kebijakan strategis.

“Mengapa harus alergi terhadap kritik? Kalau memang bersih dan jujur, biarkan rakyat yang menilai. Jangan menuduh semua pengkritik sebagai penyebar fitnah,” ujarnya tajam.

Wilson menilai Habiburrohman mencoba membelokkan opini publik dengan memelintir semangat kebebasan berekspresi menjadi ancaman terhadap stabilitas politik. Padahal, lanjutnya, kritik merupakan fondasi penting demokrasi.

“Tugas utama wakil rakyat bukan melindungi kolega, tapi melayani rakyat. Jika kritik dianggap ancaman, itu tanda wakil rakyat lupa siapa tuannya,” kata Wilson.

Menutup pernyataannya, Wilson Lalengke menyerukan agar budaya “asal bapak senang” di lingkungan DPR RI segera dihentikan. Ia menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas, bukan saling lindung di balik panji partai.

“Kita perlu wakil rakyat yang tahan dikritik, bukan yang sibuk menyusun narasi untuk membela satu sama lain. Rakyat sudah muak dengan sandiwara politik,” pungkasnya. (Juari)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

© Hak Cipta Dilindungi