Daerah  

Kerusakan Parah Hutan Mangrove di Batam: PT. Citra Buana Prakarsa Diduga Lakukan Reklamasi Ilegal, DPRD Dianggap Tutup Mata

Batam, Sibernasional. Com – Kerusakan lingkungan kembali mencuat di Kota Batam, Kepulauan Riau. Hutan mangrove di tiga wilayah pesisir—Pulau Pial Layang, Pulau Kapal Besar, dan Pulau Kapal Kecil—dilaporkan mengalami kerusakan serius akibat aktivitas pembabatan dan reklamasi oleh perusahaan swasta, PT. Citra Buana Prakarsa (CBP).

 

Aktivitas reklamasi tersebut diduga kuat dilakukan tanpa dilengkapi dokumen perizinan yang lengkap sebagaimana diatur dalam perundang-undangan dan peraturan lingkungan hidup di Indonesia. Hingga saat ini, tidak ditemukan adanya dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL), Persetujuan Lingkungan, maupun izin pemanfaatan ruang laut yang dikeluarkan oleh instansi berwenang.

 

Hutan mangrove yang selama ini menjadi penyangga alami ekosistem pesisir telah dirusak untuk kepentingan reklamasi dan penimbunan lahan. Padahal, mangrove memiliki fungsi ekologis vital seperti mencegah abrasi, menjaga kualitas air, serta menjadi habitat berbagai biota laut.

 

Investigasi Langsung Projo Kepri

 

Menyikapi hal ini, Eko Istiyanto, Wakil Ketua Bidang Investasi, Ekonomi dan Industri DPD Projo Kepulauan Riau, telah melakukan investigasi, bersama sekretaris Dado Herdiansyah, ST langsung ke lokasi pada tanggal 8 Juli 2025. Dalam peninjauannya, Eko menyaksikan secara langsung adanya kerusakan parah dan aktivitas reklamasi di kawasan hutan mangrove yang belum memiliki kejelasan legalitas.

 

Dalam upaya klarifikasi, Eko dan dado bersama tim Projo kepri mendatangi pemilik PT. CBP, Hartono. Namun, Hartono mengarahkan untuk berkomunikasi melalui legal perusahaan yang bernama Rio. Sayangnya, Rio bersikap tidak kooperatif dan menolak untuk bertemu, meskipun telah diarahkan langsung oleh Hartono. Sikap tertutup ini memperkuat dugaan bahwa aktivitas reklamasi tersebut memang tidak memiliki dasar hukum yang sah.

 

DPRD Diduga Lakukan Pembiaran

 

Yang lebih disesalkan, aktivitas ilegal tersebut tampak dibiarkan begitu saja tanpa pengawasan atau intervensi dari unsur legislatif, baik dari DPRD Kota Batam maupun DPRD Provinsi Kepulauan Riau. Beberapa anggota DPRD dari daerah pemilihan (dapil) yang mencakup lokasi kegiatan tersebut justru dinilai tidak menjalankan fungsi pengawasannya.

 

“Ini bentuk pembiaran yang sangat merugikan lingkungan dan masa depan pesisir Batam. Wakil rakyat seharusnya berdiri bersama masyarakat, bukan membiarkan praktik perusakan lingkungan demi kepentingan korporasi,” tegas Eko Istiyanto dalam pernyataannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

© Hak Cipta Dilindungi