Daerah  

Konflik Agraria di Talang Pak Rintek: Kronik Ketidakadilan, Perlawanan Masyarakat Adat, dan Ancaman Demonstrasi

SNN, Pedamaran | Konflik agraria di Talang Pak Rintek antara PT. Persada Sawet Makmur (PSM) dan masyarakat adat telah mencapai titik puncak. Di balik klaim legalitas perusahaan, terkuak praktik-praktik korporasi yang secara sistematis merampas hak-hak dasar masyarakat, menghancurkan mata pencaharian, dan menginjak-injak keadilan.

Peristiwa ini, menurut Yovi Meitaha, Koordinator Serikat Pemuda dan Masyarakat Sumsel, bukan hanya kasus lokal, melainkan representasi peliknya konflik agraria di Indonesia yang terus menerus menindas masyarakat adat. Lebih jauh lagi, Yovi memberikan peringatan keras: jika PT. PSM terbukti bersalah, demonstrasi besar-besaran akan digelar.

Lebih dari sekedar penutupan akses sungai – yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi warga dengan penjualan kayu gelam – PT. PSM diduga melakukan tindakan brutal dengan menghancurkan lebih dari seribu batang kayu gelam milik warga. Aksi ini dilakukan di lahan yang diklaim sebagai Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan, namun ironisnya, lahan tersebut berada di zona merah, menunjukkan potensi pelanggaran hukum yang sangat serius.

Kisah Lina dan suaminya, Juni, mengungkap keputusasaan mendalam akibat hilangnya sumber penghidupan. Bertahun-tahun menggantungkan hidup dari sungai, kini mereka menghadapi ancaman kelaparan. Keputusasaan itulah yang mendorong mereka untuk mengungkap kasus ini ke publik.

Pertemuan dengan Juliandi Pane, General Manager PT. PSM, dan pihak-pihak terkait, termasuk karyawan, satpam, dan anggota Brimob, bukanlah jalan keluar, melainkan demonstrasi kekuasaan korporasi yang menggertak masyarakat adat yang rentan.

Juni, dengan lantang, membantah klaim PT. PSM atas lahan tersebut. Dalam wawancara eksklusif, ia memaparkan bukti-bukti kepemilikan lahan turun-temurun yang berdasarkan sistem adat istiadat setempat.

“Mereka (PT. PSM) menutup akses dengan kawat berduri, tanpa belas kasihan menghancurkan sumber penghidupan kami. Ini bukan hanya soal ekonomi, ini soal keadilan dan hak asasi manusia yang diinjak-injak,” tegas Juni.

Ia menuding Pak Dedi, Koordinator Humas PT. PSM, dan Juliandi Pane sebagai pihak yang bertanggung jawab atas tindakan sewenang-wenang tersebut.

Yovi Meitaha, dengan analisis tajam, mengkritik keras tindakan PT. PSM yang dinilai arogan dan melanggar hukum. Ia menyebut kasus ini sebagai representasi konflik agraria yang terus berulang di Indonesia, di mana kekuatan korporasi besar seringkali mengabaikan hak-hak masyarakat adat demi keuntungan ekonomi yang tak terukur.

Serikat Pemuda dan Masyarakat Sumsel menuntut investigasi yang independen dan transparan atas dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan PT. PSM, termasuk dugaan pelanggaran HGU dan perusakan lingkungan. Mereka mendesak:

– Pembukaan kembali akses sungai: Hak dasar masyarakat untuk mengakses sumber daya alam yang telah mereka manfaatkan selama bergenerasi harus dipulihkan.
– Kompensasi yang adil: Kerugian ekonomi yang diderita masyarakat harus diatasi dengan kompensasi yang sepadan dan mempertimbangkan aspek sosial budaya.
– Penegakan hukum yang tegas: PT. PSM harus bertanggung jawab atas tindakannya dan dikenai sanksi hukum yang setimpal.
– Perlindungan bagi masyarakat adat: Pemerintah harus memberikan perlindungan yang nyata kepada masyarakat adat, termasuk penguatan lembaga adat dan partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan terkait pemanfaatan sumber daya alam di wilayah mereka.

Namun, Yovi Meitaha memberikan peringatan keras: “Jika terbukti bersalah, PT. PSM akan menghadapi gelombang demonstrasi besar-besaran dari masyarakat. Kami tidak akan tinggal diam melihat ketidakadilan terus terjadi. Perlawanan kami akan terus berlanjut hingga keadilan ditegakkan dan hak-hak masyarakat adat dipulihkan.”

Bazar sembako menjelang Lebaran Idul Fitri yang dilakukan oleh PT. PSM adalah upaya pencitraan yang gagal menutupi praktik-praktik korporasi yang tidak bertanggung jawab. Tindakan ini menggarisbawahi kesenjangan antara janji-janji korporasi dan realita di lapangan.

Kasus Talang Pak Rintek bukan hanya tanggung jawab PT. PSM, tetapi juga pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung hak-hak masyarakat adat dan penjamin penegakan hukum yang adil. Perlawanan masyarakat adat di Talang Pak Rintek harus menjadi momentum untuk mendorong reformasi agraria yang berpihak pada rakyat, mengakhiri siklus ketidakadilan, dan memastikan keberlanjutan hidup masyarakat adat di tengah gempuran korpor

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

© Hak Cipta Dilindungi