SNN, Sergai | Pada tahun 1952-1953 Opung dan orangtua kami mengolah lahan ini menjadi areal persawahan.
Hamparan ini dulunya diberi kan oleh Tengku (Ahli waris Kerajaan Sultan Serdang-red) untuk diusahakan oleh warga yang khusus suku Batak Toba,Simalungun dan Karo, sekitar 51 Kepala Keluarga.
Ini diceritakan Guntur Suadari (63) salah seorang dari 51 petani terdaftar didampingi beberapa warga di samping lokasi areal persawahan,terletak di Dusun 3 Pematang Kelang Desa Naga Lawan – kecamatan Perbaungan, kabupaten Serdang – Bedagai (Sergai), Jum’at (21/3/2025) petang.
Hal ini juga sesuai data lawas yang berhasil diperoleh dari sumber,kalau pada tanggal 02 Oktober 2001 yang ditanda tangani oleh Edison Purba dan Nelson Sagala,ada membuat surat kepada Bupati Deli Serdang (saat itu belum pemekaran-red),mohon Perlindungan hukum.
Sampai tahun 2023,lanjut Guntur hanya orang bermarga Batak Toba,Simalungun dan Karo yang jadi petani disini.Tidak ada suku lain selain suku Batak yang menjadi Petani disini.Pada tahun 2005 kami kalah berperkara di Pengadilan Negeri Lubuk PAKAM,oleh Benny Halim suku Tionghoa warga Medan yang entah memperoleh surat dari mana,berhasil menguasai lahan kami seluas 12 hektar.
Saat itu mau dieksekusi oleh pihak PN Lubuk Pakan,tapi error alias tidak jadi karena oleh yang mengaku pemenang (Benny Halim) tidak mampu menunjukkan batas tanah yang dikuasainya.
Akhirnya,petani berhasil kembali menguasai lahan kami tapi setelah adanya Pengadilan Negeri di Sergai,dan adanya kabupaten Serdang Bedagai (Sergai) entah bagaimana oleh Penguasa dengan kekuasaan dan kewenangannya dibantu sekelompok oknum, PN Sei Rampah mengeksekusi lahan yang 12 hektar ini.
Tapi lagi-lagi saat konstatering Benny Halim yang katanya selaku pemilik, tidak mampu membuktikan dimana batas-batas tanah miliknya,papar Guntur.
“Yang mengherankan,sesuai surat eksekusi hanya 12 hektar yang dimenangkan oleh Benny Halim,tapi ke nyatanya hampir 40 hektar yang “dirampok” kelompok si Benny Halim. Kami tau orang dibelakangnya yang saat itu dipakai oleh Yanti Ganda selaku istri Benny Halim, ketika itu masih punya kekuasaan di Sergai tapi sekarang dia sudah pensiun.
Kami juga akan memviral kasus ini ke Komisi III DPR-Ri dan Presiden Prabowo Subiyanto melalui Advokasi Rakyat Untuk Nusantara (ARUN), tempohari juga kasus ini sudah sampai ke Komisi III DPR-Ri”,imbuh Suadari.
Guntur Suadari juga menjelaskan, kalau dari 51 petani yang kalah dalam gugatan kasus 12 hektar itu,saat ini yang masih hidup tinggal 20-25 orang lagi.
“Bahkan rekan kami Omp. Lusi Sihombing baru kemarin meninggal dunia,tapi tentunya ahli warisnya masih memegang surat aslinya”,tutupnya.
Salah seorang warga Jalida Nainggolan (64) warga setempat,yang mengetahui persis sejarah persawahan Pematang Kelang ini menambahkan, secara fisik lahan saya tidak ikut dirampok oleh mereka.”Tetapi saya dikuasakan oleh Roulina br Manihuruk selaku Legal standing, untuk ikut mewakilinya dalam Kelompok 51 yang digugat itu.
Betul itu,diatas kertas hanya 12 hektar saja yang dimenangkan oleh Benny Halim,tapi yang dirampok bahkan saat ini dipagar pakai kawat berduri lebih dari 40 hektar. Bahkan,pemiliknya yang sudah punya Surat Hak Milik (SHM) atau Sertifikat BPN dan SKT ( Surat Keterangan Tanah) dari Bupati Deli Serdang (ketika itu masih masuk wilayah DS) dan SK Camat tidak diakui,oleh orang Polres Sergai yang memeriksa kami. Kami heran, kok bisa Penyidik Polres Sergai ketika itu membatalkan keabsahan Sertifikat BPN,tapi karena penguasa saat itu berambisi untuk men caplok tanah kami dengan mengandalkan kekuatan kewenangan nya, kami masih bersabar.
Termasuk saudara kami Boru Manihuruk, punya Sertifikat BPN tapi tidak diakui oleh Polres Sergai ketika itu. Untuk itu,kami kembali menggugat dan sudah kami sampaikan juga LP kami ke Polres Sergai, Bupati Sergai,bKejaksaan Negeri Sergai dan Gubernur Provsu terkait gugatan kami dan saat ini kasus Perdata nya sedang bergulir di PN Sei Rampah.
Kami hanya menuntut Hak kami makanya kembali menggugat, kami bukan perampas dan kami bukan penggarap. Mereka katanya sudah berperkara 12 ha dan sudah inkracht dari MA,itu nggak kami persoalkan tapi janganlah semuanya mau dirampok. Inikan negara hukum, kalau dulu dia punya kekuasaan kan sekarang ada masanya dia kembali jadi rakyat biasa”,tegas Nainggolan.
Dari data yang ada, Penetapan eksekusi dari PN Lubuk PAKAM seluas 12 hektar nomor 15/Eks/2015/76/Pdt.G/2004/PN LP ditetapkan di Lubuk PAKAM tanggal 5 Februari 2020,dan ditandatangani oleh Ketua PN Lubuk PAKAM ketika itu SOhe. SH.MH.
Terkait dengan pertanyaan awak media,kenapa lahan ini kok bisa beralih dan dimiliki oleh warga Turunan mata sipit dari Medan ?.
Suadari dan Nainggolan sembari menunjukkan Salinan Putusan dari PN Lubuk PAKAM mengatakan, “inilah katanya dasarnya adanya Akta Penyerahan Ganti Rugi 6 (enam) Persil dari bulan Juli 1987 – April 1988) saat itu dikeluarkan oleh Kepala Desa Naga Lawan.
“Ini banyak rekayasa dan indikasi nya mal administrasi,kalau sekarang sudah bukan zamannya lagi main rekayasa dengan kekuasaan. Ini akan kami bongkar dan kami adukan ke Polda Sumut dan Kapolri, Kejaksaan Tinggi dan Kejagung dan kalau perlu akan kami surat Presiden Prabowo Subiyanto kalau lahan petani dirampok”,tandas keduanya.
Rico Bayu Lesmana